Missing [Chapter 4]


-= Missing =-

.

.

.

~ A story by shimizudani ~

.

.

.

“Wah… Sekolahmu bagus!”

Itu adalah kalimat yang ucapkan Heechul ketika pertama kali menginjakkan kaki di gedung bertingkat tiga—sekolah Kyuhyun. Kakinya mengikuti setiap pergerakan langkah Kyuhyun. Saat Kyuhyun berjalan lurus, maka ia juga berjalan lurus. Saat Kyuhyun berbelok dan menaiki tangga, Heechul pun melakukan hal yang sama. Ia tidak berencana mendahului Kyuhyun. Bisa dibilang ia sedang mengikuti remaja itu. Yah, walaupun langkah mereka beriringan. Tidak terlihat seperti orang yang mengikuti dan diikuti.

“Gedungnya juga bagus. Luas.”

Lagi, Heechul memberikan pujian pada bangunan tempatnya berada sekarang. Memang beda level sekolah elit dan sekolah biasa. Ah, jangan salah sangka. Sekolah Kyuhyun bukan benar-benar sekolah elit, tempat para anak orang kaya bersekolah. Hanya saja, bila dibandingkan sekolah adik-adiknya yang lain yang ada di pinggiran kota, tentu sangat berbeda. Mereka pasti setuju dengan sebutan Heechul pada sekolah Kyuhyun. Sekolah elit. Begitu pun dengan para siswanya yang tak kalah elit. Ia tahu, tidak mudah untuk masuk ke sekolah ini. Dan ia sangat bangga adiknya bisa diterima dan mendapat beasiswa di sini.

“Ini kelasmu?” Heechul bertanya saat kakinya menapak masuk ke dalam ruangan bertuliskan ‘Kelas 1 – 6’ di pintunya.

Ne,” jawab Kyuhyun yang tetap berjalan menuju tempat duduknya.

Kali ini, Heechul sudah tidak mengikuti Kyuhyun lagi. Ia memperlambat langkahnya sembari melihat-lihat ke seluruh penjuru ruangan. “Tidak buruk,” katanya, mengangguk puas. Matanya lalu beralih pada Kyuhyun yang sudah mendudukkan dirinya di bangku terbelakang. Ia tersenyum sinis. Sudah ia duga Kyuhyun akan memilih bangku tersebut. Sepertinya, bangku belakang memang sudah ditakdirkan untuk Kyuhyun. Lihat saja betapa Kyuhyun menyukainya. “Bangku belakang lagi, eh?” ejeknya pada kesukaan Kyuhyun yang aneh itu.

Kyuhyun diam. Ia sengaja tidak membalas ucapan Heechul. Buat apa? Heechul sudah sering mempertanyakannya. Dan Heechul pun tahu jika dirinya tak memiliki alasan khusus kenapa memilih bangku paling belakang sebagai tempat favoritnya.

Heechul berjalan mendekati Kyuhyun kemudian duduk di dekat adiknya. “Apa kau tidak datang kepagian? Sepi sekali.”

“Biasanya tidak, Hyung,” jawab Kyuhyun mengacu pada kebiasaannya datang setengah jam sebelum bel berbunyi. Bila di jam tersebut, sekolah tidak sesepi ini. Sudah ada beberapa siswa yang hadir di kelas-kelas yang dilaluinya kala berjalan menuju kelasnya. Ia lalu melirik jam dinding kelasnya. Baru lima belas menit berlalu sejak pukul tujuh. Pantas sekolah masih sepi. “Tapi berhubung Hyung mengantarkanku, aku jadi lebih cepat sampai,” lanjutnya.

“Benarkah?” Heechul pura-pura terkejut mendengar penuturan Kyuhyun. “Bagaimana kalau kita jalan-jalan dulu? Aku akan mengajakmu ke… .”

“Sudahlah, Hyung,” potong Kyuhyun cepat. “Aku malas pergi ke mana-mana. Dingin.”

Heechul menelan kembali kata-kata yang tak usai ia ungkapkan. Ditariknya nafas dalam. Jujur, ia tak serius mengatakannya. Ia hanya iseng mengucapkannya karena tahu Kyuhyun pasti tak setuju dengan idenya itu. Dan benar saja. Kyuhyun langsung menolaknya mentah-mentah, bahkan sebelum ia menyelesaikan perkataannya. “Kalau begitu, aku akan menemanimu di sini,” ujarnya dengan ide lain.

Kyuhyun menoleh ke arah Heechul. Ia menatap tajam kakaknya. “Kenapa hyung tidak pulang saja?” Ia mengutarakan pertanyaan yang sesungguhnya merupakan protesnya akan ucapan sang kakak. Menemani? Seperti ia anak kecil saja.

“Nanti. Kalau aku sudah mau pulang, aku pasti pulang,” balasnya santai.

“Mau ngapain lagi, sih? Hyung kan sudah melihat sekolahku.” Kyuhyun mengajukan protes lainnya.

“Menemanimu. Aku kan sudah bilang.”

Kyuhyun menghembuskan nafas panjang. Menyerah. Lagi. Kakaknya itu benar-benar tahu bagaimana merusak mood seseorang. “Terserah hyung saja,” ujarnya, akhirnya. “Tapi hyung… Kenapa tiba-tiba ingin melihat sekolahku?”

Heechul menatap Kyuhyun lalu tersenyum. “Menurutmu kenapa?” Ia balik bertanya.

Kyuhyun mendengus, sebal. “Kalau aku tahu, buat apa aku bertanya?” Kekesalan itu terselip dalam nada suaranya.

Tawa renyah keluar dari bibir Heechul. Senang sekali rasanya melihat ekspresi wajah Kyuhyun. Sayang untuk dilewatkan. Haruskah ia menjahilinya lagi?

“Aku hanya ingin memastikan kau dan sekolahmu baik-baik saja,” ucapnya, memilih jujur.

Dahi Kyuhyun berkerut. Bingung juga mendengar kalimat Heechul. Memang apa yang salah dengan dirinya dan sekolahnya?

“Aku baik-baik saja. Sekolahku juga,” kata Kyuhyun dengan kebingungan yang masih jelas terpancar di wajahnya.

“Aku tahu. Makanya aku datang untuk memastikan.”

Heechul tersenyum geli melihat Kyuhyun. Pasti otak adiknya sedang dipenuhi tanda tanya besar. Tapi, biar saja. Ia tak berniat menjelaskan lebih lanjut. “Teman-temanmu belum datang?” tanyanya, mengubah topik pembicaraan.

“Belum.”

“Sesekali ajak temanmu ke kafe. Kenalkan mereka padaku.”

“Kenapa?”

“Aku ingin berkenalan dengan teman dekatmu.”

“Untuk apa?”

 “Apa harus aku jawab?”

Mendengar itu, otak Kyuhyun langsung bekerja. Tanpa berpikir panjang, ia sudah dapat menyimpulkan. Tidak ada alasan khusus seorang kakak berkenalan dengan teman-teman adiknya. Pasti Heechul juga begitu. Ini hanya bagian dari perasaaan protektif seorang kakak kepada adiknya. Apa ia salah?

“Bagaimana kalau hari ini? Ini kan akhir pekan, waktunya refreshing. Kebetulan aku tampil nanti.”

Kyuhyun mencibir. Apa pemikirannya tadi salah? Adakah tujuan lain dibalik undangan Heechul pada teman-temannya? Mana yang benar?

Hyung mengundang teman-temanku cuma untuk menonton penampilanmu?” tanya Kyuhyun setengah berteriak. Matanya membulat, tak percaya dengan pemikiran baru yang melintas di benaknya.

Heechul menggelengkan kepala, dramatis. Sorot matanya menajam kala bertemu pandang dengan obsidian cokelat milik Kyuhyun. Perlahan, ia memajukan tubuhnya. Tangannya terjulur dan dengan pasti didorongnya dahi Kyuhyun ke belakang. “Kau itu ya… Suka sekali membuatku mengulang omonganku,” omelnya. Tiba-tiba ia berdiri. “Sudahlah. Aku pulang saja. Sepertinya, kau sudah tidak sabar mengeluarkanku dari sini.”

Tebakan Heechul tepat. Sedari tadi, Kyuhyun memang ingin kakaknya cepat pulang. Buat apa Heechul ada di sini bila hanya membuat mood-nya memburuk?

Telapak tangan Heechul mendarat pelan di atas kepala Kyuhyun. “Belajar yang rajin, oke?” pesannya sebelum menarik kembali tangannya dan berlalu menuju pintu tempatnya masuk tadi. “Ah! Jungsoo bilang akan menjemputmu nanti.” Selesai mengatakannya, ia lalu berjalan keluar dari kelas Kyuhyun.

Mata Kyuhyun membelalak sempurna begitu mendengar perkataan Heechul. Ada apa ini? Tadi kakaknya yang menyebalkan memaksa untuk mengantarkannya ke sekolah. Sekarang kakaknya yang satu lagi ingin menjemputnya. Apa mereka sedang berkomplot?

“Apa-apaan mereka?!” gerutu Kyuhyun, sebal.

Heechul menoleh hanya untuk melihat reaksi Kyuhyun. Senyum kecil terulas di bibirnya ketika mendapati perkiraannya menjadi kenyataan. Kyuhyun menggerutu. Melalui pintu yang tak tertutup itu, ia jelas dapat melihatnya. “Ingat! Jangan pulang sebelum Jungsoo datang!.” Ia berkata untuk terakhir kalinya sebelum benar-benar memutuskan untuk pulang. Tanpa menoleh lagi, ia berjalan meninggalkan kelas Kyuhyun.

.

.

“Sampai kapan kau akan menyimpannya?”

Heechul tengah berdiri di ambang pintu kamarnya—bersandar di salah satu sisinya. Ia memperhatikan Jungsoo yang terduduk di ruangannya. Di meja di hadapannya, berserakan beberapa barang seperti ransel kecil, buku gambar, crayon, dan sebuah foto. Barang itu bukan miliknya atau pun milik Jungsoo. Barang itu adalah milik seorang bocah lelaki yang mereka temukan bertahun-tahun yang lalu. Ya, barang itu milik Kyuhyun.

Jungsoo mendapatkannya dari sang Eomma. Tapi, alih-alih mengembalikan barang-barang tersebut pada pemiliknya—Kyuhyun—ia justru menyimpannya. Bukan di kamarnya, melainkan di kamar Heechul. Terlalu beresiko menyimpan barang-barang itu di kamarnya yang juga merupakan kamar Kyuhyun. Pasti, Kyuhyun bisa menemukannya. Dan ia belum ingin adiknya mengetahuinya. Bukan sekarang.

Heechul berjalan mendekati Jungsoo. Disandarkannya tubuhnya ke lemari dekat Jungsoo berada. Matanya menatap lekat setiap gerak-gerik Jungsoo, termasuk perubahan raut wajahnya. Ia tahu ada sesuatu yang dipendam lelaki itu. Wajahnya terlalu kentara mengatakannya. Entah sesuatu itu apa… sudah menjadi tugasnyalah untuk mencari tahu.

“Ada apa, Jungsoo-ah?”

Jungsoo bergeming. Tatapan matanya tak beralih sedikit pun dari benda-benda di hadapannya. Ia tak menyentuhnya—hanya memandanginya. “Aku takut Kyuhyun terluka, Heechul-ah,” gumamnya lirih.

Heechul mengerti sekarang. Ketakutan Jungsoo sama seperti rasa takut yang dirasakannya. Mereka sama-sama tak menginginkan Kyuhyun terluka. Dan masa lalu Kyuhyun merupakan luka itu. Mengembalikan benda-benda tersebut bisa saja membuka luka lama adiknya. Tetapi, tidak ada cara ampuh mengobati luka hati selain berdamai dengan rasa sakit itu sendiri. Ia ingin Kyuhyun melakukannya. Ia yakin Kyuhyun bisa.

“Belum tentu Kyuhyun akan mengingatnya.” Ia menanggapi, teringat sebuah fakta nyata yang tak terbantahkan. Kyuhyun melupakan semuanya. Masa lalu maupun luka hatinya… Tak ada yang tersimpan dalam memori otaknya. Begitu menyakitkannyakah hingga Kyuhyun tak mau mengingatnya?

“Dan bila Kyuhyun ingat—”

“Itu lebih bagus,” sela Heechul. “Jika dia mengingatnya, kita jadi tahu bagaimana menyembuhkan lukanya,” tambahnya.

Kalimat itu memasuki indera pendengaran Jungsoo, membuat dirinya termenung. Ia memikirkan baik-baik setiap kata yang diucapkan Heechul. Tentang masa lalu dan luka hati. Ia tidak ingat masa lalunya karena sejak bayi ia sudah tinggal di Rumah Harapan. Tapi luka hati… Ia pernah memilikinya. Dulu, ia membenci orangtuanya yang telah membuangnya. Namun kemudian, penghuni Rumah Harapan menyadarkannya. Oh, ia pernah menjadi ‘yang termuda’ di sini. Para hyung-nya sering mengatakan bahwa ia lebih beruntung berada di Rumah Harapan. Belum tentu bila ia tinggal bersama orangtuanya, kehidupannya menjadi lebih baik. Mungkin saja orangtuanya bersikap kejam—lebih kejam dari sekedar meninggalkannya di panti asuhan. Siapa yang tahu?

Ia mengubah pandangannya ke arah Heechul. Teringat olehnya asal-muasal keberadaan salah satu keluarganya itu di Rumah Harapan. Orangtuanya sengaja meninggalkannya di sini—sama seperti dirinya. Bedanya, Heechul bukan lagi seorang bayi. Heechul berusia sekitar empat tahun—usia yang memungkinkan kenangan menempel kuat dalam ingatan—ketika ibunya membawanya ke sini. Mungkin karena itulah, Heechul bisa lebih memahami Kyuhyun—tentang masa lalu dan lukanya.

Ia menarik nafas dalam kemudian berkata, “Kau benar. Akan aku kembalikan nanti… saat dia menanyakannya lagi.”

Heechul memperpendek jaraknya dengan Jungsoo. Ia berdiri di samping lelaki itu dan menepuk bahunya pelan. “Kyuhyun pasti bisa melaluinya,” ujarnya, menenangkan.

“Ya,” balas Jungsoo singkat sembari menganggukkan kepala.

Meski bagi Heechul, Jungsoo adalah yang tertua di antara mereka berdua, namun tampaknya kedewasaannya setingkat lebih tinggi dibanding Jungsoo. Ia selalu mendapat bagian ‘menenangkan’. Sifat khawatir berlebihan Jungsoo-lah yang membuat peran itu semakin sering dilakukannya. Ia sadar, sifatnya berbeda jauh dengan Jungsoo. Ia cenderung cuek, sementara Jungsoo merupakan pribadi yang serius. Karena itulah, banyak hal yang menjadi pikirannya. Bahkan, hal-hal remeh pun bisa serius Jungsoo pikirkan. Berbanding terbalik dengannya yang lebih memilih mengosongkan pikirannya daripada mengisinya dengan hal-hal tidak penting.

Oke. Ia memang pribadi yang cuek. Namun, bukan berarti ia tidak peduli.Ia hanya memilih mana yang pantas ia pedulikan. Dan, Kyuhyun adalah salah satu orang beruntung yang akan selalu mendapat perhatiannya. Ia memang sering menjahili Kyuhyun. Tapi, ia mempunyai alasan melakukannya. Melalui candaannya, ia berusaha membaca perasaan dan pikiran seseorang. Apakah itu mungkin? Tentu saja. Intuisinya sangat tajam dalam hal ini. Sebagai tambahan, ia mengambil jurusan psikologi sewaktu kuliah. Wajar, bila dirinya ahli membaca kepribadian seseorang. Mungkin hal ini pula-lah yang menjadikannya lebih dewasa dibanding Jungsoo.

“Ah!” Tiba-tiba ia berujar. “Aku bilang pada Kyuhyun kau akan menjemputnya.”

“Eh?!”

“Kau harus menjemputnya nanti,” ulang Heechul.

Jungsoo menghembuskan nafas berat. “Kau itu suka seenaknya,” keluhnya.

“Memang kau tidak?”

Jungsoo menatap Heechul seolah berkata ‘Memang apa yang kulakukan?’. Dan Heechul mengerti makna tatapan itu.

“Kau lupa? Pagi-pagi sekali kau membangunkanku dan seenaknya menyuruhku mengantarkan Kyuhyun.”

“Oh!” seru Jungsoo. Ia ingat sudah melakukan apa yang Heechul sebutkan barusan. Ya, ia memang sudah seenaknya merusak waktu tidur Heechul. Tapi, hanya Heechul yang bisa dimintainya tolong. Kyuhyun yang tiba-tiba bertanya perihal namanya, ia takut ada yang mengganggu, mengejek, atau lebih buruk—mem-bully Kyuhyun karena tinggal di panti asuhan. Untungnya hal buruk itu tidak terjadi. Reputasi sekolahnya terlalu bagus untuk membiarkan peristiwa buruk itu terjadi. Setelah dipikirkan kembali, tidak ada yang salah dengan pertanyaan Kyuhyun. Mungkin benar kata Heechul. Sudah waktunya Kyuhyun mengetahui masa lalunya.

“Kau bilang mau mampir ke kafe, kan? Ajak saja Kyuhyun. Aku juga menyuruh Kyuhyun mengajak teman-temannya.”

Jungsoo berpikir sejenak sebelum anggukan kepala itu ia tunjukkan. “Ide bagus,” komentarnya.

.

.

Kibum sebenarnya tidak punya rencana berkunjung ke tempat ini. Ia ingin langsung pulang, mengerjakan tugas sekolahnya, atau mungkin meluangkan diri memikirkan hal-hal yang sudah mengganggu kinerja otaknya akhir-akhir ini. Namun kemudian, pesan itu datang. Tepat sebelum bel istirahat berakhir, Henry mengirim pesan padanya—mengajaknya mengunjungi tempat kerja kakak Kyuhyun. Ya, Kyuhyun. Sebuah nama yang sialnya selalu menarik perhatiannya. Padahal, ia tahu Kyuhyun teman adiknya bukanlah Kyuhyun yang ia cari. Tapi, tetap saja rasa penasaran itu tak mau hilang dari benaknya.

Ia tidak bisa menolak. Ah, bukan tidak bisa, tetapi ia tidak mau melakukannya. Selain karena Henry yang meminta—ia sudah berjanji menjaga adiknya—ia juga ingin mematikan harapan kecilnya akan Kyuhyun. Atau justru sebaliknya? Entahlah. Ia sendiri belum tahu apa akibat dari keputusannya ini.

Jungsoo adalah orang pertama yang dikenalkan Kyuhyun sebagai keluarganya. Dari yang ia lihat, Jungsoo merupakan orang yang ramah, baik, dan sedikit cerewet. Jungsoo tak henti bicara di sepanjang perjalanan, menanyakan berbagai hal pada Henry, Ryewook, dan padanya. Terkadang Jungsoo bercerita tentang hidupnya dan hidup Kyuhyun yang diselingi dengan humor ringan. Dari situlah Kibum tahu Jungsoo seorang dokter. Dan mungkin karena itulah, Jungsoo berungkali menanyakan keadaan Kyuhyun.

Saudara Kyuhyun lainnya yang ia temui adalah Heechul. Tak jauh berbeda dengan Jungsoo, kesan pertamanya pada Heechul juga tidak buruk. Ia tahu jika Heechul merupakan orang yang menyenangkan. Heechul sudah mempersiapkan meja lengkap dengan minuman dan makanan untuk menyambut kedatangan mereka. Sedikit canggung awalnya, namun keramahan Heechul menghapus rasa tidak nyaman itu. Beberapa kali Heechul melontarkan candaannya sehingga membuat suasana di sana semakin bersahabat.

Oh, ada satu orang lagi. Namanya Hangeng. Ia merupakan sahabat Heechul sekaligus pemilik kafe ini. Kyuhyun mengatakan bahwa Hangeng sudah seperti keluarga untuknya mengingat hubungan keduanya yang cukup dekat. Kibum bisa melihatnya. Perhatian Hangeng pada Kyuhyun nyaris sama seperti yang Jungsoo dan Heechul berikan. Mengetahui hal itu entah kenapa menimbulkan kelegaan bagi Kibum. Hati kecilnya merasa tenang Kyuhyun berada di lingkungan yang baik bersama orang-orang yang memperhatikannya.

Tapi, kalau boleh jujur, ada yang menganggu Kibum sejak tadi. Bukan. Bukan karena sikap mereka yang buruk—tidak sama sekali—atau justru kekhawatirannya akan anggapan mereka terhadap dirinya, Henry, serta Ryeowook di pertemuan pertama ini. Ada yang membangkitkan instingnya sejak awal mereka bertemu. Dan seiring berlalunya waktu, naluri itu semakin kuat. Ada yang berbeda dengan Heechul.

Tatapan matanya. Ya, tatapan mata Heechul. Cara Heechul melihatnya seolah menelisiknya dan mencari tahu segala hal tentang dirinya. Ia bahkan tak mampu menciptakan sekat di hadapan mata itu, sekat yang sengaja ia buat agar orang-orang tak bisa memahami dirinya. Aneh? Memang. Ia adalah orang yang tak suka sembarang orang memasuki ruang pribadinya. Ia akan membentuk jarak dan akan selalu melakukannya karena selama ini tak ada yang memperoleh kepercayaannya untuk menjadi tempat berbagi atas apa yang ia rasakan. Jangan kasihani dirinya! Ia tak pernah merasa kondisinya semenyedihkan itu itu hingga patut untuk dikasihani. Lagipula ia bahagia dengan hidupnya meski banyak kekurangan yang ia miliki.

Tetapi setelah melihat mata itu, segalanya buyar. Ia tak lagi yakin akan dirinya. Inikah Kibum yang selalu Henry keluhkan lantaran tebalnya sekat yang kadang ia ciptakan? Bagaimana mungkin ia menjadi tak berkutik di depan orang yang belum satu jam ia temui? Pertanyaan itulah yang berputar di benak Kibum kala matanya bertemu pandang dengan milik Heechul.

Tiba-tiba Heechul tersenyum. Dengan mata yang juga ikut tersenyum, ia berkata, “Kau orang yang menarik.”

Dan Kibum hanya bisa mengerjapkan mata mendengar penuturannya.

“Jangan menggodanya Heechul-ah.” Hangeng dengan sengaja menyenggol lengan Heechul sebagai isyarat agar sahabatnya itu tidak melakukan kebiasaan buruknya pada Kibum. “Ayo, dinikmati makanannya,” tawarnya pada seluruh tamunya di sana.

Kentang goreng dan roti bakar. Bukan kombinasi bagus, tapi cukup untuk mengisi perut sebelum menjejalinya dengan makan malam. Pandangan Kibum beralih pada segelas jus jeruk yang juga tersaji di atas meja. Sekali lagi ia akan berkata bahwa ini bukan kombinasi yang buruk. Atau mungkin bisa dibilang ia tidak peduli dengan apapun yang mereka suguhkan.

“Bum hyung, hati-hati. Heechul hyung orangnya memang jahil,” ujar Kyuhyun memperingatkan.

Heechul terkekeh. Adiknya itu memang sangat hafal tabiat dirinya. “Kau memang adikku, Kyu.”

“Tentu saja. Memang siapa lagi yang sering kau goda selain Kyuhyun?” Jungsoo menimpali.

Heechul kembali tertawa. Menyadari orang-orang terdekatnya mengetahui kebiasaan dirinya menimbulkan kelucuan tersendiri bagi lelaki muda itu. Apalagi ini kebiasaan buruknya, bukan kebiasaan baik yang bisa ia bangga-banggakan. Tapi mendengar mereka mengatakannya, sepertinya sifatnya tidak seburuk itu hingga harus dihilangkan. Benar, bukan?

“Jadi, ini tahun terakhirmu di SMA, ya?” tanya Heechul, masih menunjukkan ketertarikannya pada Kibum. “Sudah memutuskan ingin melanjutkan ke mana?” lanjutnya.

Yang menjadi lawan bicara Heechul hanya diam. Tak ada reaksi yang ditunjukkan olehnya. Ia bergeming seolah tak ada suara yang memasuki indera pendengarannya. Pikirannya terusik. Namun, dengan segera ia menepisnya dan mengembalikan fokus pikirannya di tempatnya berada sekarang. “Hukum,” jawab Kibum singkat, mendahului Henry yang akan memanggilnya akibat ulah diamnya barusan.

“Hmm…” Heechul terlihat berpikir. Dengan mata yang masih memperhatikan Kibum, ia berujar, “Sepertinya memang cocok untukmu.”

“Berjuanglah,” ucap Hangeng memberikan dukungannya.

“Iya, berjuanglah.” Jungsoo ikut memberikan dukungannya. “Kudengar hukum cukup sulit,” tambahnya.

“Tidak akan. Kibum tidak akan mengalami kesulitan di sana. Benar, kan?”

Kibum tahu pertanyaan itu ditujukan untuknya. Dan ya, ia tak akan mengalami kesulitan jika pilihannya itu benar-benar terealisasikan. Tidak seperti teman-temannya yang masih memikirkan kelanjutan masa depan mereka atau merasa ragu dan takut akan masa depan yang belum terjadi—jujur, ia juga memiliki ketakutan itu—tapi ia yakin dengan kemampuannya dirinya. Ia percaya bahwa pilihannya tidak akan mempersulitnya.

Tetapi, tahukah kalian mengapa Kibum tidak menjawab pertanyaan yang Heechul berikan? Karena ia yakin Heechul sudah memiliki jawabannya. Pertanyaan itu hanya mencari pembenaran dari pernyataan sebelumnya. Ia hanya menduga-duga. Mungkin, Heechul sudah mengetahui sebagian  kecil dari dirinya.

Hyung,” panggil Kyuhyun yang otomatis mengambil alih seluruh perhatian di sana. Begitu pula dengan Heechul yang mau tak mau menoleh padanya. Dan itu memang tepat karena sebenarnya Heechul-lah yang ia panggil, meski tiga orang lainnya yang terbiasa mendapat panggilan ‘hyung’ ikut menoleh padanya. “Kau bilang akan tampil? Kapan?” tanyanya, jelas ditujukan pada Heechul atau mungkin Hangeng yang juga mengerti maksud dari pertanyaannya.

Hangeng melihat arloji di tangannya. Ia lalu menepuk bahu Heechul. “Ayo, Heechul-ah. Sudah waktunya,” ajaknya, mulai beranjak dari kursi.

Heechul mengikuti gerakan Hangeng. Ia berdiri dan bersiap memulai pertunjukannya. “Kalian nikmati dulu makanannya. Jangan pergi sebelum kami kembali, ya,” pesannya sebelum benar-benar pergi meninggalkan tamunya. Ia dan Hangeng kemudian berjalan menuju satu-satunya panggung di kafe itu.

Mereka adalah musisi. Kyuhyun sudah menceritakannya. Maka, Kibum menikmati apa yang mereka tampilkan. Ia memang tak terlalu mengerti musik. Yang ia tahu, selama ia masih bisa mendengarkannya, ia akan mengatakan bahwa musik itu bagus. Bila itu Henry, tentu akan berbeda jadinya. Adiknya lebih paham mengenai musik. Ralat. Henry menguasai musik jauh lebih baik darinya. Apa yang menurutnya bagus, pasti dinilai berbeda oleh adiknya. Memikirkan hal itu, tanpa sadar membuat sudut-sudut bibirnya tertarik. Ada kebanggaan tersendiri  kala mengingat kejeniusan Henry di bidang musik.

Namun, senyum itu hilang saat matanya menangkap raut wajah Kyuhyun. Wajah itu terlihat begitu menikmati sajian musik yang ditampilkan di atas panggung. Dan kalimat itu kembali bergema dalam otaknya.

Bum hyung, hati-hati. Heechul hyung orangnya memang jahil.

.

–  Chapter 4 End  –

.


Published on this blog and my FFn account.

Silahkan dibaca dan jangan lupa komentarnya ditunggu…

Special thanks to readers and reviewers on FFn and this blog. See you on next chapter 😀

© shimizudani


Posted on February 28, 2018, in Brothership, Drama, Family, FanFiction, Friendship and tagged , , , , , , . Bookmark the permalink. 1 Comment.

  1. Sama kaya yg di ffn ya..

    Ditunggu lanjutannya..

Leave Comments

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.