Wish [Chapter 1]


-= Wish =-

.

.

.

~ A story by shimizudani ~

.

.

.

Seorang wanita muda dengan hati-hati turun dari sebuah bus sekolah. Wanita itu lalu membantu dua anak laki-laki sebaya yang juga akan turun dari bus tersebut. Mereka menggenggam tangan wanita itu erat—takut terjatuh. “Nah, kita sudah sampai, Kyu,” ujarnya sambil tersenyum pada salah satu anak kecil berusia sekitar 5 tahun, yang berada di sisi kanannya—yang masih menggenggam erat tangannya.

Bocah itu mengangguk kemudian melepaskan genggamannya. “Gomawo, Songsaengnim. Annyeong…” Ia membungkukkan badannya—memberi rasa hormat pada gurunya yang sudah berbaik hati mengantarkannya. Ia berlari kecil masuk ke dalam sebuah rumah bercat putih dengan warna jingga di setiap sudutnya. Sementara guru dari Kyu, mengantarkan anak satunya—yang berada di sisi kirinya. Rumah anak itu tidak jauh. Hanya terpaut dua rumah dari rumah Kyu.

“Eomma, Kyu pulang,” ujar Kyu riang setelah memasuki kawasan rumahnya.

“Eomma, Kyu pulang,” ulangnya dengan suara lebih keras.

Masih hening. Tak ada suara selain suara bocah itu. Orang yang dipanggil olehnya juga tak segera muncul, membuat Kyu mulai takut. Biasanya Eommanya akan menyambut anak itu dengan senyum terkembang di bibirnya.

“Eomma…” Kali ini Kyu berteriak. Dengan segera ia berlari ke kamar Eommanya. Berharap menemukan Eommanya di sana. Tapi nihil. Ia berpindah ke kamar kecilnya—tepat di samping kamar Eommanya. Tak ada juga. Kyu mulai terisak.

“Eomma.. Eomma.. Hiks…” ujarnya menahan isak tangis. Ia benar-benar takut sekarang. Ia berjalan ke arah dapur—masih berharap Eommanya berada di sana dan mengejutkannya—seperti sebelumnya. Tapi suasana dapur juga sama. Sepi. Ia sudah akan berbalik ketika tanpa sengaja matanya menangkap seeorang yang tengah tertidur di lantai dapur—setidaknya itu menurut Kyu. Dan saat ia mendekat…

“KKYYYAAAA….”

Jeritan itu membangunkan seorang pemuda dari tidurnya. Nafasnya terengah-engah seperti habis berlari. Wajahnya juga pucat, tanda terjadi hal yang tidak baik pada dirinya.

Mimpi itu lagi.

Sudah beberapa hari, ia dibangunkan oleh mimpi itu. Mimpi yang sama yang selalu mengusik tidurnya lebih dari seminggu ini. Sejak keluarganya meninggalkannya sendiri di rumah ini, mimpi itu seolah menjadi santapan tidurnya. Takut? Tentu saja. Tapi ia sudah terbiasa mengalaminya. Walaupun ia sendiri tak yakin akan terbiasa dengan perasaan yang selalu hinggap saat mimpi itu datang. Perasaan takut bercampur sedih.

Tanpa ia sadari tubuhnya mulai bergetar. Ia gemetar. Ia takut. Dengan sekuat tenaga ia menahan rasa itu—rasa takut yang teramat sangat. Perlahan air mata mulai jatuh dari kedua matanya. Membasahi wajahnya yang dipenuhi dengan keringat. Mimpi itu benar-benar membuatnya berantakan.

“Kyu, gwenchana?” tanya seseorang dari luar pintu kamar Kyuhyun—yang langsung dikenali olehnya sebagai suara Sungmin. Orang itu berusaha membuka pintu kamarnya. Tapi tidak bisa. Kyuhyun sudah mengunci pintu itu sebelum ia tidur. Ia tidak ingin orang lain menemukan dirinya bangun dengan kondisi ‘berantakan’—seperti pagi ini. Ia juga tidak ingin orang lain tahu tentang mimpi itu. Bahkan rasa takut yang ia alami setiap mimpi itu datang, tak pernah ia ceritakan. Bukan hanya itu. Satu-satunya hal yang membuatnya takut pun, tak ada satu pun yang tahu. Ia terlalu rapi untuk menyembunyikan itu semua.

Kyuhyun segera menghapus air matanya dan mengatur nafasnya agar kembali normal. “Ne, hyung. Gwenchana,” jawabnya senormal mungkin.

“Lalu kenapa tadi teriak?” tanya Sungmin lagi, masih dengan nada khawatir.

“Gwenchana, Hyung. Aku tadi hanya mimpi buruk.”

“Oh, begitu. Ya sudah, cepat siap-siap. Nanti kita terlambat,” perintah Sungmin.

Kyuhyun mengangguk. Tapi sadar kalau Sungmin tidak bisa melihatnya, ia pun memilih menjawab pertanyaan kakaknya dengan mulutnya. “Ne, hyung.”

Ia melirik jam di dinding kamarnya. Pukul 5.30. Ia perlahan berjalan memasuki kamar mandi di ruangan itu. Untung saja ayahnya bersedia membuatkan kamar mandi di dalam kamarnya. Jadi dia tidak perlu menunggu giliran hanya untuk mandi.

Lima belas menit berlalu. Kyuhyun telah selesai dengan kegiatan mandinya dan ia kini tengah merapikan dasinya. Dasi bermotif kotak-kotak itu sangat serasi dengan seragamnya. Ia mengenakan kemeja putih polos dan celana panjang yang juga bermotif kotak-kotak—sama seperti dasinya.

Ia menatap pantulan dirinya dalam cermin. Tampan. Itulah kata yang terlintas di benaknya. Ia sangat menyukai seragam ini. Karena menurutnya, ia akan semakin tampan jika menggunakan seragam yang didominasi warna merah dan putih itu. Ya, pemuda itu memang tampan. Posturnya yang tinggi semakin membuatnya mempesona.

Setelah cukup lama berdiri di depan cermin, ia memutuskan untuk menyudahi kegiatannya itu. Ia berjalan keluar dari kamarnya. Ditatapnya lorong yang kini dalam keadaan sepi.

Mereka pasti sudah di bawah.

Dan benar saja, seluruh keluarganya tengah duduk di ruang makan dengan makanan tersaji di depan mereka. Sungmin—sang mood maker tengah bercanda bersama mereka. Ya, mereka. Orang tua dan kedua kakak tertuanya. Mereka terlihat sedang tertawa mendengar cerita Sungmin. Ia ragu. Apakah ia harus merusak suasana pagi hari ini? Jawabannya tidak. Pemuda itu lebih memilih untuk pergi.

“Kyyuuu…” Suara itu membuat langkah Kyuhyun terhenti. Ia berbalik dan menemukan salah satu kakaknya sedang tersenyum padanya.

“Ah, pagi, Hyung…” sapanya sedikit kikuk karena mendapat tatapan ‘aneh’ dari orang-orang di sekitarnya.

“Pagi Kyu,” balas Sungmin, sang kakak yang memanggil namanya tadi. Ia tersenyum lebar.

 “Kau tidak sarapan? Ayo sini!” Kali ini sang Appa yang berkata.

Sejenak Kyuhyun terlihat ragu. Namun sedetik kemudian keraguan itu hilang. Ia menuruti ajakan sang Appa kemudian duduk di dekat Appanya karena memang itu satu-satunya kursi kosong di sana. Suasana makan mereka yang sebelumnya dipenuhi canda tawa, berubah menjadi hening. Tak ada yang berbicara kecuali Sungmin yang masih semangat bercerita. Namun kali ini tak ada tawa. Hanya terdengar dentingan sendok dan piring. Kyuhyun sendiri lebih memilih untuk diam. Dia hanya menanggapi celotehan Sungmin dengan senyuman.

“Aku berangkat denganmu saja ya, Kyu,” ujar Sungmin saat mereka akan berangkat sekolah, yang langsung mendapat tatapan tajam dari Eommanya.

“Tidak boleh,” tolak sang Eomma keras.

“Wae, Eomma?” rengeknya.

“Kau tidak boleh kelelahan. Ingat?” jawab Eommanya lagi.

“Kalau begitu Kyu naik mobil saja denganku,” usulnya.

“Tidak boleh. Kau hanya akan berangkat dengan Donghae. Siwon cepat antar kedua adikmu,” perintah sang Eomma.

Sang sulung mengangguk. “Ne, Eomma,” jawabnya lalu mulai memasuki sebuah mobil berwarna biru di hadapannya. Donghae pun mengikuti kegiatan kakaknya—memasuki mobil itu lalu duduk tepat di samping Siwon. Sedangkan Sungmin, ia ingin protes. Tapi tatapan tajam dari Eommanya membuat ia menelan kembali kata-katanya. Ia menatap Kyuhyun lemah. Ia merasa bersalah pada satu-satunya adiknya itu.

Bagaimana dengan Kyuhyun? Ternyata orang yang sedari tadi mereka bicarakan, hanya berdiri terdiam di sana. Wajahnya datar. Satu-satunya ekspresi yang ia keluarkan adalah ketika memberikan senyum pada Sungmin sebelum mobil berwana biru tua yang membawa seluruh kakaknya itu pergi. Menyisakan Tuan Lee, Nyonya Lee dan Kyuhyun yang tidak bergerak dari posisinya.

“Kau kuantar saja, Kyu,” ujar Tuan Lee memecah keheningan.

Kyuhyun melirik Nyonya Lee. Ketidaksukaan terpancar jelas di wajah sang Eomma. Ia menghela nafas pelan. Ia tahu Eommanya tidak akan suka dengan ide ini. “Tidak perlu, Appa. Aku naik bis saja,” katanya berusaha tersenyum.

“Tapi…”

“Aku berangkat dulu. Annyeong…” Kyuhyun melambaikan tangannya kemudian berlari meninggalkan kedua orang tuanya. Tempat yang ditujunya adalah halte terdekat dari rumahnya. Di sana, ia menunggu bus yang akan membawanya ke SMA terbaik di kota Seoul. Sekolah itulah tempatnya mencari ilmu saat ini.

Ia mulai berlari. Walaupun matahari bersinar sangat terik, tapi tak mengurungkan niat pemuda itu untuk terus berlari. Tak dipedulikannya tetesan keringat yang keluar dari wajahnya. Ini adalah hari pertamanya bersekolah, setelah selama seminggu mendapat libur musim panas. Ia harus semangat.

.

.

.

“Berikan bolanya padaku,” teriak seorang pemuda kepada temannya dengan bola berada di kakinya. Ia menuruti keinginan pemuda itu dengan mengoperkan bola kepadanya. Sang pemuda dengan sigap menguasai bola itu, kemudian menendangnya ke arah gawang. Melewati seseorang yang berjaga di sana. Dan gol. Pemuda itu merayakan bertambahnya skor mereka bersama teman-teman setimnya.

Permainan mereka berhasil menyedot perhatian salah satu siswa yang berada di lantai dua. Ia duduk di dekat jendela. Jadi dia bisa bebas melihat pemandangan di luar kelas, termasuk mereka yang tengah berada di lapangan olahraga. Walaupun ia tidak dapat melihat dengan jelas orang-orang itu, tapi setidaknya ia bisa tahu siapa orang yang barusan membuat gol. Matanya terlalu bagus untuk tidak mengenali kakaknya, Donghae di sana.

Ya, pemuda yang menciptakan gol tadi adalah kakaknya, Lee Donghae. Usia mereka terpaut 1 tahun. Saat ini Kyuhyun duduk di kelas dua,. Itu berarti Donghae duduk di kelas tiga yang merupakan tahun terakhirnya di sekolah ini. Kakak tertuanya, Lee Siwon, sudah dua tahun menikmati bangku kuliah. Ia mengambil jurusan ekonomi di Inha University. Siwon juga merupakan alumni dari sekolah ini. Itu artinya seluruh putra keluarga Lee bersekolah di sini, karena Sungmin—sama seperti Kyuhyun, duduk di kelas dua di sekolah ini. Tapi sayangnya kelas mereka berbeda.

Kyuhyun tersadar dari lamunannya ketika tiba-tiba ada seseorang yang duduk di sampingnya. Ia mengamati orang itu, melihat dari atas ke bawah—berusaha mengingat namanya. Tapi ia tidak menemukan nama yang cocok dengan wajah orang yang dengan seenaknya duduk di kursi yang seharusnya kosong itu.

“Kau siapa?” tanya Kyuhyun pada orang yang tengah membetulkan posisi duduknya. Ia menoleh ke arah Kyuhyun, menatapnya tak percaya.

“Kau tidak mendengarkan tadi? Aku anak baru di sini.”

Ah, anak baru. Pantas rasanya Kyuhyun tidak pernah bertemu dengannya. “Mianhe. Aku tidak memperhatikan,” ujarnya merasa bersalah pada pemuda berkaca mata itu.

Pemuda itu hanya tersenyum. Ia memaklumi tingkah Kyuhyun. Ia tahu memang itulah sifat Kyuhyun. Cuek. Sifat yang juga dimiliki olehnya. “Kau tidak berubah, Kyu,” ucapnya mengomentari Kyuhyun.

Sedangkan Kyuhyun terlihat terkejut mendengar penuturan pemuda yang belum lima menit berada di sampingnya. Ia mengernyitkan dahinya. “Kau siapa?” tanyanya masih dengan pertanyaan yang sama.

Pemuda itu kembali tersenyum. “Kau tidak ingat padaku? Aku Kim Kibum.”

Mendengar nama itu, otak Kyuhyun langsung bekerja. Ia berusaha mengingat-ingat nama itu. Ia membuka memori masa lalunya, mencari kenangannya bersama si pemilik nama itu. Dan akhirnya ia menemukannya. Hanya ada satu orang yang ia kenal yang memiliki nama itu. Tapi ia tidak yakin apakah orang yang dalam memorinya sama dengan orang yang duduk di sampingnya.

“Kyunnie. Bummie. Ingat?” Orang yang bernama Kibum itu mencoba mengingatkan Kyuhyun.

“Ah, Bummieee… Tentu saja aku ingat,” kata Kyuhyun dengan cengiran lebar di wajahnya. Ternyata benar. Orang itu adalah Kibum yang ia maksud. Satu-satunya orang yang ia sebut sebagai sahabat. Karena hanya Kibum lah yang mau berteman dengan Kyuhyun, si anak pendiam dan aneh.

Kibum kembali tersenyum. Kali ini senyumnya lebih lebar dari sebelumnya. Ia senang akhirnya sahabatnya ingat padanya.

“Ehhmm…”

Seketika senyum mereka lenyap begitu mendengar suara itu—suara dari depan kelas, yang tidak asing bagi mereka. Dan saat mereka menoleh, mereka mendapati seseorang yang tengah menatap tajam ke arah mereka. Siapa lagi kalau bukan guru mereka? Ia memberi isyarat agar mereka diam. Kyuhyun dan Kibum menunduk, patuh.

“Kau… Kenapa kau bisa ada di sini?” tanya Kyuhyun setengah berbisik agar gurunya tidak mendengar.

“Orang tuaku pindah ke kota ini,” jawab Kibum dengan suara yang tak kalah pelan. Seminggu yang lalu ia pindah ke kota ini. Itu pun karena orang tuanya yang dipindahtugaskan ke sini. Awalnya Kibum menolak ikut. Tapi begitu mendengar nama kota yang akan ditempatinya, ia langsung setuju. Ia begitu merindukan sahabatnya, sehingga akhirnya sampailah ia di kota ini. Bahkan ia sengaja masuk ke sekolah yang sama dengan sahabatnya itu. Tak peduli betapa pusingnya ia mencari sekolah Kyuhyun. Toh akhirnya ia menemukannya juga. Dan di sini lah ia sekarang. Duduk di samping sahabatnya—seperti yang ia lakukan dulu.

“Oh…” Dengan kata itu, Kyuhyun mengakhiri obrolan mereka. Ia kembali fokus pada pelajaran yang sempat ia tinggalkan. Begitu juga Kibum. Ia mulai membuka buku yang baru didapatnya pagi ini. Penuh dengan angka. Otak merekapun di-set untuk menerima pelajaran Matematika yang merupakan mata pelajaran favorit mereka.

.

.

.

Setelah sekian lama menunggu, akhirnya bel istirahat berbunyi.. Ekspresi kelelahan terpancar di wajah para siswa kelas 2-1.. Tanpa pikir panjang para siswa itu berhamburan keluar kelas. Menyerbu kantin tentunya. Menyalurkan hasrat makan mereka dan mengisi stok energi yang terbuang.

Lalu apa yang dilakukan dua pemuda yang duduk di pojok belakang itu? Mereka masih anteng duduk di kursi mereka. Bahkan Kyuhyun sudah mengeluarkan PSP kesayangannya. Ia sudah siap melanjutkan permainan yang belum ia selesaikan semalam. Bagaimana dengan Kibum? Tanpa disangka-sangka, ia juga mengeluarkan sebuah alat yang mirip dengan yang dipegang oleh Kyuhyun. Ternyata dia juga suka dengan games. Itu terbukti dengan tangannya yang sudah lincah memencet tombol-tombol PSP tersebut. Bahkan mendahului si maniak games—yang terbengong melihat orang di sampingnya.

“Wae?” tanya Kibum tanpa mengalihkan pandangannya.

“Kau suka main games?” Kyuhyun balik bertanya, masih heran..

Mau tak mau Kibum mem-pause game yang tengah dimainkannya itu. Ia menatap sahabatnya. Dahinya berkerut. “Ada yang salah kalau aku bermain games? Bukankah kau juga suka melakukannya?”

“Ah, ani. Hanya merasa aneh.,” jawab Kyuhyun sedikit kikuk. Ia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Jarang sekali ia menemukan orang yang membawa PSP di dalam tasnya—seperti Kibum.

Sementara Kibum sendiri tengah asyik dengan pikirannya. Memang aneh ya membawa PSP ke sekolah? Seingatnya tak ada peraturan yang melarang siswanya membawa benda itu ke kelas. Asalkan tidak dimainkan saat pelajaran berlangsung tentunya. Tapi bukan Kibum namanya jika dia terusik dengan hal sepele seperti ini. Ada sesuatu yang lebih menarik perhatiannya. “Bagaimana keluargamu?” Pertanyaan itu dengan lancar keluar dari bibirnya.

Kyuhyun terdiam cukup lama. Ia menatap kosong layar PSP-nya. “Baik,” jawabnya datar.

“Kau tidak jahat kan pada mereka?” tebak Kibum asal.

Kyuhyun menatap Kibum. Matanya membulat. “Ya! Memang kau kira aku apa?” elak Kyuhyun.

“Kau kan Evil,” jawab Kibum santai.

Kyuhyun menggamit leher Kibum cukup kuat. “Kalau aku Evil, lalu kau siapa? Dasar Bummie,” ujarnya pura-pura marah. Ia ingat. Dulu ia dijuluki ‘Evil’ oleh teman-teman sekelasnya. Lalu Kibum? Tentu saja julukan itu juga disandangnya. Salah sendiri mau berteman dengan Evil.

“Lepaskan aku!” Kibum meronta—berusaha menyingkirkan lengan Kyuhyun dari lehernya. “Dasar Kyunnie!” ujarnya setelah lepas dari cengkeraman namja itu. Ia sedikit cemberut.

“Kau tidak berubah, Bummie.” Kyuhyun berkata sambil menunjukkan cengiran lebarnya pada Kibum.

“Kau yang tidak berubah, Kyunnie,” balas Kibum dengan memberikan penekannya pada ucapannya. Ia masih cemberut. Sejak dulu ia memang tidak suka dengan sifat sahabatnya yang satu itu.

Tiba-tiba saja cengiran di bibir Kyuhyun menghilang. Berganti dengan ekspresi sedih yang tak dapat dilihat Kibum karena Kibum memang tak sedang melihatnya. Ia mengalihkan pandangannya keluar jendela. “Aku merindukanmu, Bum-ah.” Ada nada lain dalam suaranya.

Kibum terhenyak. Buru-buru ditatapnya Kyuhun. Tapi yang terlihat hanya rambut Kyuhyun yang sedikit bergoyang terkena hembusan angin dari salah satu kipas angin di kelas mereka. Walaupun ia tak dapat melihat wajah sahabatnya itu, tapi dari nada bicaranya, ia merasa kalau suasana hati Kyuhyun tidak dalam keadaan baik. Bukan karena gurauan mereka barusan. Perasaannya berkata ada hal lain yang menjadi penyebabnya.

“Aku juga merindukanmu, Kyu-ah,” ujarnya terbawa suasana oleh Kyuhyun. Tak dapat dipungkiri, rasa penasarannya pada namja itu semakin kuat. Sejak pertama masuk kelas, ia yakin bahwa namja yang duduk di pojok belakang dan tengah memandang keluar kelas adalah Kyuhyun. Tidak ada yang istimewa dari itu. Justru hal itu tidak sepantasnya dilakukan siswa saat pelajaran berlangsung. Tapi yang membuatnya tertarik adalah raut wajahnya. Kesedihan. Ia yakin sahabatnya sedang merasakan perasaan itu.

“Kyyuuu…” panggil seseorang, menyadarkan Kyuhyun dan Kibum dari lamunannya. Sontak saja mereka menoleh ke sumber suara. Dilihatnya seorang namja tengah berjalan sambil tersenyum ke arah mereka. Ia membawa sebuah kotak bekal di tangannya. Kibum tidak perlu bersusah payah mengenali orang itu—yang memang nyatanya tidak ia kenal. Lagipula yang dipanggil oleh orang itu bukan dirinya, melainkan orang yang duduk di sampingnya.

“Sungmin Hyung. Ada apa kemari?” tanya Kyuhyun setelah orang itu duduk di salah satu kursi di depannya. Beruntung pemilik tempat duduk itu sedang pergi, jadi Sungmin bisa bebas duduk di sana.

“Ini.” Sungmin meletakkan kotak bekal yang dibawanya di meja Kyuhyun. Ia tersenyum. “Ayo makan bersama,” ajaknya.

Kibum mengangkat salah satu alisnya. Ia memperhatikan lebih seksama orang itu. Pemuda berkulit putih dan berparas cantik sekaligus imut itu sepertinya tak terusik dengan keberadaan Kibum. Pemuda itu mulai membuka kotak bekal di hadapannya—yang entah kenapa berwarna pink. Menampilkan susunan makanan yang tertata rapi di sana.

Kibum melirik Kyuhyun yang untungnya juga sedang melirik ke arahnya. Dan seolah mengerti apa yang Kibum pikirkan, Kyuhyun mulai buka suara. “Oh ya, Hyung. Kenalkan! Ini sahabatku,” ucapnya memperkenalkan orang yang duduk di sebelahnya pada sang kakak.

Sungmin menghentikan sejenak aktivitasnya ‘membongkar’ kotak bekal. Ia memperhatikan Kyuhyun, lalu beralih ke satu-satunya orang yang duduk di sebelah Kyuhyun. Dan jika ia tak salah tebak, pemuda itu lah yang dimaksud Kyuhyun. Tiba-tiba matanya membulat, menunjukkan ekspresi ketidakpercayaan. “Benarkah?” pekiknya.

“Ne. Kibum imnida,” ujar Kibum memperkenalkan diri.. Ia sedikit menundukkan kepalanya untuk menunjukkan rasa hormatnya pada orang yang baru dikenalnya.

“Oh… Ne. Aku kakaknya Kyu. Sungmin imnida.” Kini Sungmin berganti memperkenalkan dirinya. Seperti yang dilakukan Kibum, dengan sedikit menundukkan kepala, tentunya. Lalu diperhatikannya lagi orang yang bernama Kibum itu. Begitu juga dengan Kyuhyun—yang tak luput dari perhatiannya.

“Aku tak percaya kau punya teman, Kyu,” pekik Sungmin takjub. Ia masih tak percaya jika adiknya itu mempunyai seorang teman. Bahkan orang yang mau duduk di sampingnya pun jarang. Mungkin hanya Sungmin yang melakukannya. Selebihnya tak ada. Kyuhyun lebih suka menyendiri. Ia merasa jika dirinya adalah satu-satunya teman yang dimiliki Kyuhyun. Tapi ternyata ia salah.

“Aku sendiri juga tak percaya masih ada yang mau berteman denganku,” jawab Kyuhyun datar. Ia mulai mengambil makanan yang dibawa Sungmin, menjejalkannya ke mulutnya.

Sungmin mencibir. Ia beralih menatap Kibum. “Bagaimana bisa kau berteman dengan Kyuhyun? Dia kan aneh,” sindir Sungmin di akhir kalimatnya.

Makanan yang ditelan Kyuhyun terasa berhenti di tengah jalan begitu mendengar ucapan Sungmin. Dengan susah payah ia kembali menelan makanan itu. “Ya! Hyung! Kenapa bicara seperti itu?” sungut Kyuhyun. Hampir saja dia tersedak.

“Memang kenyataannya seperti itu, kan, Kyu?” Sungmin tak mau kalah.

“Tidak, Hyung. Aku anak baik.”

“Baik apanya? Kau itu menakutkan, Kyu. Sampai-sampai tak ada yang mau dekat denganmu.”

“Tapi Hyung mau. Kibum juga.”

Pertengkaran kecil kedua kakak beradik itu menyunggingkan senyum kecil di bibir Kibum. Dia tidak menyangka sahabatnya mampu menunjukkan sisi dirinya yang lain. Sedikit manja. Dan juga menyebalkan, tentunya. Ia teringat ketika dulu Kyuhyun pernah dengan sengaja menaruh belalang dalam tasnya. Ia yang memang tidak takut dengan binatang itu, hanya memberikan ekspresi datarnya kemudian membuang sang belalang ke sembarang tempat. Satu hal yang tak terlupakan adalah ekspresi cemberut di wajah Kyuhyun karena telah gagal mengerjainya. Dengan kesal bocah itu menjejakkan kakinya keras lalu meninggalkannya. Sejak saat itu sang Evil tidak pernah mengerjainya lagi. Mungkin kapok. Tapi imbasnya, ia jadi sering mendengar rencana jahil Kyuhyun dan menemaninya menjalankan rencana itu. Yang membuat Kibum bingung adalah kenapa dia mau melakukannya?

“Kau menertawakanku, Bum-ah,” sungut Kyuhyun.

Kibum tersentak. Ditatapnya Kyuhyun yang sesuai dugaannya—menampilkan wajah cemberut khas miliknya. Dia menertawakan Kyuhyun? Tentu saja tidak. Ia hanya tersenyum mengingat masa kecil mereka. Masa yang paling indah, menurutnya. Dan sepertinya berlaku juga untuk Kyuhyun. Bagaimana dia bisa tahu? Hanya menebak. Ia memiliki insting yang sangat kuat, yang membuatnya hampir tak salah menebak sesuatu.

“Ani, Kyu. Aku hanya tersenyum. Itu juga bukan karena dirimu,” elak Kibum.

“Lalu?”

“Ngomong-ngomong…” Sungmin memotong pembicaraan Kyuhyun dan Kibum. Matanya menatap lurus Kibum lalu tersenyum penuh arti. “Ayo ceritakan! Kapan kau bertemu Kyu? Dan bagaimana bisa kau berteman dengannya?” tanyanya antusias.

 “Dia teman masa kecilku, Hyung.”

Sungmin menaikkan sebelah alisnya. “Teman masa kecil?” tanyanya yang sepertinya ditujukan untuk dirinya sendiri. Ia sedikit memutar bola matanya, berusaha untuk mengingat sesuatu. “Apa itu benar? Seingatku kau tidak punya teman bernama Kibum,” katanya, menyerah.

Kibum kembali melirik Kyuhyun. Kali ini ia seperti memberi isyarat pada pemuda itu. Namun Kyuhyun masih tetap tenang. Tak sedetik pun pandangannya teralihkan. Bahkan untuk menerima isyarat dari Kibum.

“Ada, Hyung. Hyung saja yang tidak ingat.”

“Apa iya? Tapi….”

“Sudahlah, Hyung. Ayo makan! Aku lapar,” potong Kyuhyun lalu mengambil makanan yang ada dalam kotak berwarna pink di hadapannya.

Sungmin sedikit terkejut dengan reaksi Kyuhyun. “Aish, Kyu! Kau harus menawari Kibum juga,” omelnya pada sang adik yang tengah mengunyah makanan di mulutnya. “Kibum-ah, ambillah! Kita makan bersama,” lanjutnya pada Kibum dengan senyum yang sangat manis.

Tentu saja Kibum tidak menolak ajakan Sungmin. Sebenarnya ia tidak terlalu lapar. Lagipula ada tempat bernama kantin yang menjual berbagai makanan di sana. Namun sopan santun membuatnya merasa tak enak menolak tawaran itu. Ia mengambil makanan yang sama seperti yang ada di tangan Kyuhyun, kemudian memasukkannya ke dalam mulutnya. Diikuti dengan Sungmin yang juga mulai mengunyah makanannya. Dan mereka pun menghabiskan waktu istirahat bersama.

.

–  Chapter 1 End  –

.


Thanks for reading. And don’t forget to comment ^^

 

 

 

© shimizudani

Posted on July 24, 2014, in Brothership, Family, FanFiction, Friendship and tagged , , , , , . Bookmark the permalink. 2 Comments.

  1. ayo dilanjut eonn,,,aq dah baca yg di ffn smpai chapter trakhir,,,mau dilnjutin disinikah ?? oke aq tunggu ya eonn,,semangat !!!

    • Makasih udah baca FF gaje ini, hehe… 😛
      Iya, rencana mau posting lanjutannya disini. Mau buka FFn gak bisa-bisa dari kemarin.. -__-

      Makasih kunjungannya dan makasih juga jadi orang pertama yg comment, hehe 🙂

Leave Comments

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.